Oleh : Febriansyah Fahlevi
MENJELANG pilkada serentak 27 November 2024, masyarakat pemilih di Kota Padang disuguhi acara debat antarkontestan, yang ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi Padang TV pada Sabtu malam 26 Oktober 2024. Acara debat calon Walikota/Wakil Walikota Padang putaran pertama yang dilaksanakan di Hotel Mercure itu cukup mencuri perhatian publik, terutama media massa.
Pada malam itu tiga pasang kontestan pilkada saling memberikan wacana kepemimpinannya ke depan, adu visi dan misi, serta adu cerdas dalam menyikapi persoalan. Namun sayang, debat yang seharusnya adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing, malah seolah tak terlihat.
Dalam pandangan saya, debat yang seharusnya menjadi rangkaian dari ritual dan instrumen penting pra-pilkada malah jadi ternoda, karena calon lain berupaya mencari kelemahan petahana selama kepemimpinannya.
Untung saja saat itu tak terjadi bentrok antar pendukung masing-masing calon, seperti yang pernah terjadi saat debat publik dua pasang calon bupati dan calon wakil bupati Boyolali beberapa tahun lalu.
Mungkin perlu digaris bawahi bahwa kosep debat yang sesungguhnya bukan menjadi seperti pertarungan tinju di ring, dimana masing-masing petinju berusaha bisa menang dengan knock out atau KO.
Kita ketahui di Indonsia debat kali pertama digelar pada pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Namun kala itu debat berlangsung bukan dalam forum resmi, kala itu salah satu media televisi nasional dapat mempertemukan secara bersamaan para kandidat, kemudian digelar debat.
Sementara Amerika Serikat telah melakukannya sejak 1960. Amerika sendiri, aturan debat diatur sedemikian matang, seperti tema debat telah ditentukan jauh hari. Pemilihan moderator, durasi, tempat, dan rundown acara diatur setahun sebelum pelaksanaan debat. Sementara para kandidat telah siap dengan konsep kerangka jawaban berdasarkan visi dan misi yang mereka jual kepada rakyat.
Berbeda kita di Indonesia yang lebih mengedepankan norma, di Amerika Serikat yang memiliki budaya permisif atau masyarakat yang cenderung berperilaku bebas, seolah tidak ada adat, kebiasaan, sopan santun, aturan dan hukum. Acara debat dirancang untuk berlangsung panas, saling sindir, bahkan dengan ejekan atau kecaman yang berakhir dengan pertengkaran.
Tentu debat model Amerika Serikat tak mungkin kita tiru secara mentah-mentah, karena bukan kebudayaan kita.
Menurut hemat saya, debat pasangan calon Walikota/Wakil Walikota Padang, di segmen awal saja sudah mulai “dipanaskan” oleh pasangan nomor urut 2 Iqbal – Amasrul. Malam itu Amasrul yang pernah menjadi Sekdako Padang di era Walikota Mahyeldi Ansharullah dan wakil Hendri Septa menyebutkan ; “Bila mereka menang, birokrasi tidak terkotak-kotak. Semua aparatur mendapat kesempatan yang sama dalam karir, selain itu penempatan ASN berdasarkan penilaian kinerja tidak karena kedekatan dan suka-sukanya pimpinan saja,” ujar Amasrul.
Bahkan di segmen ke-empat Amasrul juga mengatakan, banyak saat ini ASN di Kota Padang dirangkul untuk kepentingan golongan serta untuk kepentingan pilkada.
Sementara paslon nomor urut 1, Fadly Amran – Maigus Nasir menginginkan Kota Padang tanpa kutipan-kutipan dan tanpa setor setoran seperti yang terjadi selama ini. Fadli Amran menyebutkan, fenomena yang terjadi saat ini, dalam pengangkatan dalam sebuah jabatan harus menyediakan sejumlah setoran kepada oknum tertentu, tanpa menyebutkan contoh kasus yang jelas.
Setelah mencermati debat yang ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi Padang TV tersebut masih jauh dari harapan. Banyak sekali kelemahan yang justru menjadi antitesis tujuan mulia debat. Setidaknya perlu dikaji ulang apakah debat ini penting?
Jika kita mau berjujur-jujur, sebenarnya pelaksanaan debat bukanlah satu-satunya syarat yang menentukan pasangan calon layak menjadi pemimpin atau tidak. Masih banyak variabel yang penjadi kunci penentu, di antaranya track record kontestan, partai pengusung, visi dan misi, dan ideologi.
Bahkan menurut hemat saya, pemenang debat tidak pula serta-merta menjadi pemenang pilkada. Ini bisa kita buktikan dari debat yang selama ini berlangsung di Amerika Serikat yang tidak pernah berdampak terlalu banyak untuk mengubah pilihan rakyat.
*Penulis adalah pemerhati sosial dan politik di Kota Padang
Posting Komentar