Sanksi Diskualifikasi bagi Cakada Penerima Dana Kampanye Terlarang


Oleh : Doni Eka Putra



SELAMA ini soal pelaporan dana kampanye sering dianggap leceh. Pelaporannya asal saja. Sekadar melepaskan tanggung jawab atau memenuhi syarat formal saja. Berdasarkan penelusuran saya di website Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sebuah Kabupaten di Sumatera Barat, ada pasangan calon kepala daerah yang melaporkan dana kampanye mereka hanya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) dan bahkan ada yang Rp. 0 (nol rupiah). Bayangkan, untuk berkampanye menjadi bupati/wakil bupati hanya menghabiskan uang Rp. 10.000 bahkan tidak memakai uang sama sekali.


Dari sisi KPU juga begitu. Pokoknya kalau pasangan calon sudah membuat dan menyerahkan laporan, semuanya beres. Tidak ada niat KPU menelusuri atau mencari kebenaran dari laporan dana kampanye yang masuk ke meja mereka. Laporan dana kampanye tak lebih sekadar formalitas saja.


Apakah memang, secara hukum, soal dana kampanye seleceh itu? Tidak juga. Aturan dana kampanye cukup lengkap dan menyediakan sanksi tegas yang berimplikasi besar terhadap pencalonan kepala daerah. Hanya saja, penerapan sanksinya saja yang bermasalah. Ini serupa praktik umum dunia hukum kita: kuat di aturan, lemah di penerapan. 


Soal dana kampanye diatur mulai dari undang-undang tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sampai ke peraturan KPU (PKPU). Aturan terkait dana kampanye diatur di dalam Pasal 74 - 86 UU No. 8 Tahun 2015. Aturan teknisnya dapat dipelajari di dalam PKPU No. 14 Tahun 2024 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.


Yang dimaksud dengan dana kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang dan jasa yang digunakan Pasangan Calon dan/atau Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu untuk membiayai kegiatan Kampanye. Laporan dana kampanye secara layak penting, karena itu merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan dalam pencegahan awal terjadinya politik uang, termasuk juga kejahatan pencucian uang.  


Sebab itu, dana kampanye harus dikelola secara transparan dan profesional untuk mewujudkan Pilkada yang demokratis, berkualitas dan berkepastian hukum. 


Saking pentingnya pengelolaan dana kampanye yang transparan dan profesional, negara mewajibkan keterlibatan akuntan publik melakukan audit dana kampanye sesuai standar akuntansi. Setiap penerimaan dan pengeluaran dana kampanye harus dilaporkan secara transparan, akuntabel dan profesional. 


Menurut Pasal 25 ayat (2) PKPU No. 14 Tahun 2024, pelaporan dana kampanye terbagi 3, meliputi laporan awal dana kampanye (LADK), laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) dan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). Ketiga laporan itu harus disampaikan kepada KPU terkait, dalam waktu yang sudah ditentukan.


Terkait sumber dana kampanye, pembuat aturan sangat serius mengaturnya. Ada sumber yang dibolehkan, ada pula yang dilarang. 


Pasal 73 ayat (1) PKPU No. 14 Tahun 2024 memuat sumber dana kampanye yang dilarang, yaitu dana kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan warga negara asing; penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; pemerintah dan pemerintah daerah; dan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau sebutan lain. 


Sanksi bagi pasangan calon yang melanggar larangan ini sangat berat dan serius: pembatalan pasangan calon. Hal itu diatur di dalam Pasal 76 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2015, juga di dalam Pasal 82 ayat (1) PKPU Nomor 14 Tahun 2024. UU juga sudah menjelaskan bahwa yang berwenang membatalkan pasangan calon yang menerima sumbangan terlarang itu adalah KPU sesuai tingkatan pemilihannya. Misal, bila yang melanggar adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yang berwenang membatalkan adalah KPU Provinsi. 


Selama ini, sanksi berat dan serius terkait dana kampanye yang berasal dari sumber yang terlarang memang tidak atau belum pernah kita dengar. KPU sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu tidak pernah menjalankan kewenangannya itu. KPU cenderung melihat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye sebagai hal administratif belaka. Pokoknya apapun bentuk laporannya diterimanya dan diarsipkannya. 


Pilkada Kota Padang 2024 yang baru saja selesai bisa dijadikan contoh. Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal penyampaian 27 Agustus 2024, harta kekayaan Calon Walikota Padang Nomor Urut 1 Fadly Amran dalam bentuk kas dan setara kas berjumlah Rp. 1.307.374.396. Sementara harta kekayaan Calon wakilnya Maigus Nasir dalam bentuk kas dan setara kas adalah Rp. 121.148.928. Angka itu dirilis oleh KPK dengan tanggal penyampaian 23 Agustus 2024. 


Gabungan harta dalam bentuk kas dan setara kas Fadly Amran dan Maigus Nasir adalah Rp. 1.428.523.324. Dengan harta yang hanya sebanyak itu, di dalam LPPDK yang disampaikan kepada KPU Kota Padang, mereka berdua menyumbang sebesar Rp. 5.147.985.500.


Dari gabungan harta dalam bentuk kas dan setara kas Fadly Amran dan Maigus Nasir, terdapat selisih sebesar Rp. 3.719.462.176. Secara hukum, selisih ini tentu terkategori sebagai sumbangan yang berasal dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Sebab, secara kalkulatif, tidak mungkin Fadly Amran dan Maigus Nasir mampu menyumbang sebesar Rp. 5.147.985.500 di tengah fakta kekayaan mereka hanya Rp. 1.428.523.324. 


Untuk menutupi kekurangan harta kekayaannya dengan jumlah sumbangan yang mereka masukkan ke dalam rekening kampanye, mereka menerima sumbangan dari pihak lain. Berdasarkan LPPDK yang disampaikan ke KPU Kota Padang, Fadly Amran dan Maigus Nasir tidak mencatumkan identitas penyumbangnya.  


Sementara itu, mengacu kepada LHKPN yang diupload KPK, pasangan calon No. 2 Iqbal dan Amasrul (tanggal penyampaian 27/8/2024 dan 13/2/2024) memiliki harta sebesar Rp. 396.248.646. Di LPPDK mereka menyumbang sebesar Rp. 800.000.000. Dengan begitu, juga terdapat selisih sebesar Rp. 403.751.354. Seperti halnya Fadly dan Maigus, selisih tersebut juga terkategori sebagai sumbangan dana kampanye yang berasal dari orang atau badan hukum yang tidak jelas identitasnya. 


Pasangan No. 3 Hendri Septa dan Hidayat tergolong sebagai pasangan calon yang melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang wajar dari sisi harta dalam bentuk kas dan setara kas berdasarkan LHKPN (tanggal penyampaian 5/1/2024 dan 1/3/2024). Hendri dan Hidayat memiliki harta sebesar Rp. 761.130.955 dan sumbangan mereka berdua, berdasarkan LPPDK adalah sebesar Rp. 694.000.000 yang terdiri dari uang sebesar Rp. 1.000.000, dalam bentuk barang yang bernilai sebesar Rp. 250.000.000 dan dalam bentuk jasa senilai Rp. 443.000.000. 


Mengacu kepada Pasal 76 ayat (4) dan (5) UU No. 8 Tahun 2015, sebenarnya KPU Kota Padang tidak punya pilihan lain selain membatalkan atau mendiskualifikasi 2 pasangan calon, yaitu Fadly Amran dan Maigus Nasir dan Muhammad Iqbal dan Amasrul. Faktanya, KPU tidak menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut. Alih-alih membatalkan keduanya, KPU Kota Padang malah menetapkan salah satu dari pasangan yang bermasalah itu (Fadly Amran dan Maigus Nasir) sebagai peraih suara terbanyak pada Jumat tanggal 6 Desember 2024. 


Dengan tidak menjalankan tugas dan kewenangannya, KPU Kota Padang sudah lalai dan/atau melawan hukum. Sesuai aturan, pihak-pihak yang berkepentingan tentu dapat mengambil tindakan hukum. Diantaranya, melaporkan KPU Kota Padang ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan menggeser kewenangan diskualifikasi yang awalnya ada di tangan KPU Kota Padang ke Mahkamah Konstitusi (MK).***


*Penulis adalah Ketua Bagian Hukum Tata Negara dan LKKBH Universitas Sumatera Barat

Post a Comment

أحدث أقدم